Selasa, 27 Januari 2009

BLOG INI TIDAK DI UP DATE

SAYA MOHON MAAF BLOG INI TIDAK SAYA UP DATE LAGI, SILAHKAN BUKA BLOG SAYA YANG BARU

ISKANDARMHUM.BLOGSPOT.COM


TERIMAKASIH ATAS PERHATIANNYA.

Jumat, 16 Januari 2009

REFLEKSI DIES NATALIS STAIN SAS BABEL KE 4

STAIN SAS BABEL :Menuju Pusat Keunggulan Intelektual dan Moral Berwawasan Global
(Refleksi Dies Natalis ke IV)

Oleh : Iskandar, M.Hum

(Dosen Tetap STAIN SAS BABEL & Mahasiswa Program S3 Ilmu Hukum UII)

Pendidikan, sebagaimana pernah dikemukakan oleh R.J. Menges, adalah keseluruhan proses dalam rangka membantu manusia menapaki kehidupannya. Dalam konteks yang demikian, pendidikan menempati posisi yang sangat sentral dan strategis dalam rangka membangun kehidupan manusia baik kehidupan individu maupun sosial yang diharapkan mampu memposisikan manusia dalam kehidupan yang plural. Posisi sentral dan tantangan yang berat sejalan dengan semakin kompleksitasnya roda kehidupan manusia menyongsong era global.

Oleh karenanya, pendidikan merupakan salahsatu sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah umat manusia hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak mempergunakan pendidikan sebagai alat kebudayaan dan peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam masyarakat yang terbelakang (primitif). Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung (STAIN SAS BABEL) merupakan perguruan tinggi negeri pertama di Kepulauan Bangka Belitung, hal ini terwujud melalui Keputusan Presiden Nomor 93 Tahun 2004 tanggal 18 Oktober 2004.

Sebagai perguruan tinggi negeri yang berada dibawah naungan Departemen Agama, STAIN telah membuktikan diri bergerak dengan menghadirkan beberapa program studi yang tidak hanya bidang keagamaan saja, namun telah memasuki program studi umum. Pengembangan kelembagaan seperti itu merupakan upaya pemberdayaan institusi STAIN SAS BABEL yang diharapkan dapat mengemban harapan bersifat sosial (social expectation) dan harapan bersifat akademik (academic expectation). Kedua harapan itu, ingin diwujudkan setelah melalui perubahan status menjadi negeri yang di beri ruang untuk membuka program studi ilmu-ilmu keislaman juga ilmu-ilmu umum yang diajarkan secara integratif dan holistic yang memiliki keunggulan dan daya saing serta mampu melakukan dialektis dengan realitas yang selalu menuntut perubahan dan lebih khusus lagi menjadi pusat keunggulan ilmu dan peradaban Islam yang kesemuanya telah dipersiapkan STAIN sejak awal.

Upaya will be first in the world in science

Pembangunan dalam pembaruan pendidikan Islam karena adanya tantangan kebutuhan masyarakat dan pendidikan itu diharapkan dapat menyiapkan produk manusia yang mampu mengatasi kebutuhan masyarakat yang akhirnya pendidikan lebih bersifat konservatif yang mana pada masyarakat agraris pendidikan didesain agar relevan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat pada eranya, demikian juga halnya dengan masyarakat industrial dan informasi, pendidikan didesain mengikuti irama perkembangan masyarakat industri, informasi dan teknologi.

Kehadiran STAIN di Bangka Belitung selama ini telah memberikan corak tersendiri dalam rangka pembangunan pendidikan Islam. Apa yang telah, sedang dan akan dilakukan selama ini oleh STAIN merupakan upaya untuk merubah paradigm tentang pendidikan Islam. Sebagai perguruan tinggi negeri, STAIN tidak berdiam diri, hanya menerima apa adanya, namun semangat kreativitas dan kapabiltas terus ditingkatkan dalam mencapai visi yang telah ditetapkan selama ini.

Dalam hal ini ada tiga faktor yang sedang di bangun dan follow-up STAIN SAS BABEL, yakni pertama, membangun harmonisasi dan ukhuwah di internal civitas akademik, dengan menerima perbedaan-perbedaan pendapat, tidak saling mencurigai dan selalu saling menghargai. Kedua, meningkatkan kualitas dan kapabilitas tenaga pengajar yang saat ini melanjutkan S2 dan S3 baik didalam negeri maupun diluar negeri, lewat diskusi ilmiah yang dilakukan setiap bulan oleh para dosen, penelitian dosen serta diskusi-diskusi intensif tetap di bangun oleh dosen dan mahasiswa, menerbitkan buku yang ditulis oleh para dosen. Ketiga, Penyediaan fasilitas perpustakaan yang saat ini memiliki gedung yang cukup refresentatif dan dilengkapi dengan referensi yang cukup memadai dan dapat dikatakan sebagai perpustakaan terbaik di Bangka Belitung karena memiliki gedung yang cukup mengakomodir ribuan mahasiswa.

Sama dengan perguruan tinggi lainnya, STAIN SAS BABEL juga akan menghadapi tiga skala tuntutan, yaitu skala global, nasional, dan tuntutan dalam lingkup internal kampus. Untuk menghadapi hal tersebut STAIN SAS BABEL telah mempersiapkan berbagai langkah yaitu :

Menghadapi tuntutan skala global, di antaranya berupa tuntutan kualitas, relevansi, dan internasionalisasi pendidikan tinggi. Hal tersebut seiring dengan tuntutan yang digariskan oleh UNESCO kepada perguruan tinggi-perguruan tinggi di dunia. Persoalan kualitas dan relevansi barangkali bukan persoalan baru, tetapi mengenai internasionalisasi pendidikan tinggi telah menjadi perhatian serius di kalangan para praktisi dan pemikir pendidikan. Dalam konteks ini, STAIN SAS BABEL telah mempersiapkan diri dalam menghadapi arus liberalisasi pendidikan ke depan. Terlebih, bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global tidak dapat bebas bersikap, karena terikat dengan kesepatakan-kesepakatan dunia. Selain itu, realitas kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang dipandang kurang dibanding bangsa-bangsa lain, maka tuntutan peningkatan kualitas pendidikan tinggi termasuk STAIN SAS BABEL menjadi hal yang sangat wajar dan rasional.

Menghadapi tuntutan skala nasional, diketahui bahwa saat ini masyarakat telah mengalami perubahan dalam memandang pendidikan. Kalau dahulu pendidikan hanya dianggap sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar akademik manusia, bisa baca-tulis-hitung sudah cukup, namun saat ini pendidikan dipandang sebagai investasi (human invesment). Tidaklah berlebihan, jika saat ini masyarakat menuntut STAIN SAS BABEL sebagai sebuah institusi yang akan mampu mencetak lulusan yang tangguh, berkualitas, dan sanggup bersaing dengan yang lain. Hal ini telah dipersiapkan dari berbagai lini dengan memperkuat kemampuan baik dibidang akademik maupun manajemen.

Menghadapi tuntutan dalam lingkup internal kampus, Secara internal, STAIN SAS BABEL dituntut senantiasa menata diri baik dengan menyatukan langkah seluruh anggota civitas akademikanya dalam mengantisipasi perubahan dan tantangan ke depan. Oleh karenanya STAIN SAS BABEL melakukan refleksi dalam rangka reorientasi perguruan tinggi Islam sebagai landasan filosofis bagi upaya gerakan dan penyatuan langkah bagi seluruh anggota civitas akademika. Di samping itu, penataan secara internal yang menyangkut aspek managemen, administrasi, organisasi, pengembangan akademik, adalah hal sangat penting yang sedang dibangun oleh STAIN SAS BABEL.

Sinergi Membangun STAIN SAS BABEL

STAIN SAS BABEL saat ini telah menempati kampus terpadu di Desa Petaling Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Banga. Yang sebelumnya menempati kampus di Sungailiat yang merupakan pinjaman dari Pemerintah Kabupaten Bangka. Dengan kampus yang dibangun saat ini, konsep yang ditawarkan adalah “SINERGI” membangun STAIN.

STAIN SAS memang merupakan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang berada dibawah naungan Departemen Agama Republik Indonesia. Namun dalam membangunnya tidak hanya merupakan tanggungjawab dari DEPAG saja, akantetapi tanggungjawab semua komponen yang ada. Cukup menggembirakan selama ini pembangunan Kampus STAIN SAS di Desa Petaling telah berkembang dengan pesat, disamping pembangunan dilakukan melalui dana Pemerintah Pusat, namun juga peran Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung cukup menggembirakan terhadap perannya untuk membangun kampus yang refresentatif. Demikian juga halnya dengan jalan-jalan dan fasilitas lainnya yang dibantu oleh Pemerintah Kabupaten Bangka.

Berdasarkan hal tersebut, tentunya sinergi membangun kampus antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota serta masyarakat sangat mutlak dilakukan dan sangat diharapkan agar apa yang menjadi cita-cita dari pendirian Kampus STAIN SAS BABEL ini dapat terwujud. Karena membangun pendidikan membutuhkan investasi yang cukup besar dan tidak bisa dinikmati dalam waktu singkat, namun dengan investasi demikian tentunya akan dinikmati oleh mereka yang akan berada setelah kita. Dan kita berharap semua mereka akan menikmati apa yang telah kita usahakan dengan membangun negeri ini. semoga bermanfaat

Demokrasi yang termarjinalkan..?

Demokrasi yang termarjinalkan ?

Oleh Iskandar, M.Hum

Dosen STAIN SAS BABEL & Mahasiswa Program S3 Hukum UII

Perjuangan masyarakat Indonesia dalam rangka menegakkan hukum dan demokrasi merupakan proses yang telah mensejarah. Meskipun harus diakui bahwa sistem nilai dan perangkat inskonstitusional hukum dan demokrasi telah berlangsung beberapa saat.

Upaya untuk membebaskan diri dari berbagai belenggu kekuasaan dan penindasan budaya barangkali dapat dipandang sebagai motor penggerak hukum dan demokrasi di Indonesia. Namun harus dipahami bahwa bentuk-bentuk budaya politik perlawanan masyarakat dalam upaya membebaskan masyarakat dari kungkungan sistem hukum yang menindas tersebut memiliki keragaman bentuk sesuai dengan perkembangan sosial yang berlangsung.

Seperti persoalan yang mencuat saat ini, dengan adanya pelanggaran hukum oleh masyarakat merupakan pembangkangan terhadap penindasan hukum oleh penguasa kepada masyarakat. Pada masa perkembangan masyarakat yang masih diwarnai oleh sistem kerajaan dengan tatanan sosial-politik feodalisme, perlawanan terhadap kekuasaan raja yang absolut dan cenderung menindas sudah sering terjadi. Sistem perlawanan yang muncul tetap dibalut oleh kultur politik monarkhi, yakni menggunakan bentuk opposition within system, sehingga diakomodasi dan tidaknya sebuah aspirasi atau tuntutan semuanya sangat tergantung pada kearifan sang raja sebagai penguasa sistem. Artinya, kalau raja dangan ing penggalih maka tentunya aspirasi masyarakat dipenuhi. Sebaliknya, kalau raja tidak setuju tidak tertutup kemungkinan para pemrotesnya akan dibasmi hingga tuntas. Salah satu contoh bentuk perlawanan rakyat atau diistilahkan sebagai pembangkangan sipil (civil disobediene) dengan cara berjemur di alun-alun kerajaan atau politik pepe, tidak mempercayai hukum sebagai konstitusi yang sah di Indonesia.

Sejarah perjalanan di dunia telah membuktikan bahwa iklim sosial yang demokratis pada dasarnya ditopang oleh dua pilar utama, yakni mekanisme politik dalam arti formal, dan yang bersifat substansial. Pilar politik pada level yang formal lebih mengacu pada sebuah sistem dan struktur kelembagaan demokrasi perwakilan rakyat atau parlementary. Pembentukan pemerintahan yang sah adalah melalui keterwakilan suara dan perwakilan rakyat, melalui bekerjanya sistem kepartaian, DPR-MPR, lembaga kepresidenan, peradilan, konstitusi dan lain-lain. Jikalau sebuah negara telah memiliki lembaga-lembaga politik seperti tersebut di atas, maka negara itu secara formal berhak menyebut dirinya sebagai sebuah negara demokrasi.

Namun demikian, dalam prakteknya tidak secara otomatis struktur politik formal berhak menyebut dirinya sebagai sebuah negara demokrasi karena dalam prakteknya tidak secara otomatis struktur politik formal terbentuk secara mapan akan berkorelasi positif yang otomatis menghadirkan demokrasi.

Sebaliknya pilar lain sebagai persyaratan normatif dan substansial yang penting adalah adanya civil liberation di berbagai bidang kehidupan. Artinya, setiap anggota masyarakat baik secara individual maupun kelompok memperoleh kebebasan dalam mengekspresikan aspirasinya. Apalah artinya sebuah negara yang memiliki sistem parlementer yang mapan kalau tidak terjadi kebebasan riil, sehingga demokrasi akhirnya tidak lebih dari sekedar demokrasi formal. Demikian juga sebaliknya, jikalau terdapat kebebasan untuk mengungkapkan pendapat masyarakat yang ada, tetapi tidak ada institusi-institusi politik formal maka yang terjadi adalah kekacauan sosial. Jadi, sistem demokrasi dibangun atas dua pilar politik formal dan substansial yang tidak bisa salah satunya ditiadakan dan keberadaan dua-duanya harus saling berinteraksi komplementer.

Pemerintahan masa lalu juga melakukan klaim bahwa dirinya layak disebut sebagai pemerintahan yang demokratis. meskipun dalam praktek lebih merupakan formalisme dalam berdemokrasi karena telah meniadakan salah satu pilarnya yaitu kebebasan masyarakat. Bahkan hegemoni dan dominasi politik yang dilakukan cenderung melahirkan monopoli makna atas gerakan-gerakan sosial yang mengarah pada protes. Perlawanan rakyat yang tidak puas dengan sistem yang ada dimaknai sebagai membangkang dan dihadapkan secara diametral dengan konstitusi sehingga mendapat cap mbalelo dan inkonstotusional. Padahal maksud dari pembangkangan tersebut dari sisi rakyat adalah meminta pada penguasa agar ruang gerak politik dapat diperluas untuk menuju tegaknya hukum dan demokrasi secara baik dan benar.

Bentuk-bentuk pembangkangan rakyat yang lahir pada masa lalu hingga kini dapat dikategorikan sebagai perlawanan politik yang menjelma dalam masing-masing bidang kehidupan manusia. Hal ini dapat meliputi pembangkangan bidang politik, sosial, sastra, budaya dan filsafat. Beberapa contoh yang dapat diungkapkan disini misalnya, demontrasi turun ke jalan, mimbar bebas, sidang rakyat-mahasiswa, amuk massa, maraknya penggunaan bahasa plesetan, bentuk-bentuk ketoprak humor, dekonsruksi wayang kulit (dalang Sujiwo Sutejo), teater kritik (Butet Kartarejasa), Parodi Republik Mimpi, puisi-pantomim kritik (Jemek Supardi, Wiji Tukul), dan lain-lain. Kalau kita amati secara cermat maka munculnya berbagai varian pembangkangan tersebut sebagai reaksi politis atas praktek kekuasaan para pemimpin negara. Karena terkadang seorang pemimpin merasa mengklaim dirinya demokratis tapi pada sisi lain menindas hukum dan masyarakat.

Pada masa lalu rezim mengalami konfidensi berlebih sebagai akibat dari arogansi kekuasaan elitnya sehingga tidak mampu membaca tanda-tanda kritik politik melalui maraknya berbagai bentuk pembangkangan/pelanggaran hukum tersebut. Maka jatuhlah kekuasaan ketika masyarakat memaksa dirinya harus turun dari tahta tanpa ia mampu mewariskan institusi politik yang demokratis pada masyarakat dalam pengertian “skill berdemokrasi” dari lapisan atas hingga bawah. Hal ini berakibat pada munculnya berbagai bentuk tindak kekerasan, kerusuhan dan ancaman disintegrasi sosial yang dapat kita rasakan dampaknya hingga sekarang. Apalagi saat ini dengan adanya Peradilan HAM yang tidak berkesudahan makin menambah daftar suramnya hukum di Indonesia.

Ketika era reformasi tiba, pembangkangan kian marak. Harus diakui bahwa tindak protes memiliki dimesi majemuk. Apa yang berlangsung dengan eskalasi tindakan atau perilaku kekerasan tidak lain karena sosialisasi politik masa lalu yang didominasi oleh repressi dan cara-cara penindasan. Para petani yang pada masa lalu mengalami marginalisasi kerena tergusur tanahnya untuk “pembangunan” melakukan tuntutan kembali atas haknya melalui “penjarahan kembali”. Bahkan lapisan bawah yang selama ini tertindas disinyalir melampiaskan kekecewaannya dengan cara mengamuk dan merusak apa saja yang menjadi simbol-simbol kekuasaan negara yang absolut.

Ini semua merupakan bukti bahwa kesadaran yang telah merebak di kalangan masyarakat akan ketertindasan masa lalu sudah cukup untuk membentuk politik hukum dan demokrasi di Indonesia saat ini. Ketiadaan pendidikan sipil (civil education) pada masa pemerintahan lalu dan absennya perilaku demokratis telah membawa bangsa Indonesia pada era reformasi ini dalam situasi kurang menguntungkan.

Adalah langkanya skill berdemokrasi yang internalized dalam setiap benak dan perilaku individu-individu anggota masyarakat. Masih jauh dari harapan bahwa gerakan-gerakan pembangkangan/pelanggaran terhadap hukum dan demokrasi yang terjadi, berubah menjadi protes konstruktif, melahirkan opini publik. Menjadi perdebatan dalam politik resmi (parlemen dan pemerintah), dan melahirkan sebuah kebijakan publik. Untuk sementara ini, makna sosial pembangkangan/pelanggaran hukum masih belum berubah, yaitu melawan pada rezim dan sebagai tindakan salah.

Kekecewaan baru termanifestasi sebatas pada perlawanan, belum mewujudkan dialog yang positif. Kekecewaan masih melahirkan “politik sikut-sikutan”, artinya masih ada kecenderungan bahwa upaya membela kebenaran diri dengan jalan “mematikan” pihak lain. Kalau hal ini yang terjadi secara terus menerus, maka masa depan Indonesia menghadapi perkembangan politik yang buram. Salah satu legitimasi untuk meredakan kekecewaan politis rakyat adalah dengan menyelenggarakan hukum dan demokrasi secara jujur dan tranparan tanpa melihat berbagai bentuk jabatan atau kekayaan pelanggar hukum. Tapi itu juga tidak merupakan jaminan, karena semua kembali pada perilaku politik formal saat ini, selain sosialisasi nilai berdemokrasi di tingkat masyarakat. Mampukah ia membawa bahtera yang membawa Indonesia pada masa depan politik yang lebih demokratis. Oleh karena itu, masih dapatkah hukum dan demokrasi di negara ini ditegakkan dengan baik ?